Minggu, 16 Agustus 2009

AWAL KEMELUT MELANDA

“Ya Allah... berikanlah hamba petunjukmu. Kalau dia emang bukan jodohku jauhkanlah dia darihati dan pikiranku ya Allah. Tapi kalau ia telah kau suratkan untukku, pertemukanlah kami, mudahkanlah jalannya, bukankah Engkau Maha Kuasa ya Allah...”

Deraian air mata membahasi mukena putih yang kupakai, untaian air mataku semakin deras mengalir. Semua rekaman video masa lalu berputar dalam otakku dan menusuk-nusuk hatiku, kasih sayangnya, perhatiannya dan belaian lembut darinya kini hanya tinggal kenangan.

“Adly, sinilah... dah lama kita nggak ngomong-ngomong”, panggil abang iparku yang sepat mengangetkan kami, karena nggak biasanya dia manggil Adly tuk ngobrol, bahkan saat Adly yang sengaja mengajaknya ngobrol biasanya dia bersikap cuek. Adlypun bangkit dari duduknya dengan langkah ragu dan dengan keheranan yang terpancar dari matanya.

“Apa yang kamu suka dari Sari?” Pertanyaan itu samar-samar terdengar dari tempatku yang hanya berjarak lebih kurang 1 meter dari mereka.

“Ya semuanya, luar dalam.” Jawab Adli pasti.

“Trus apa kendalanya lagi?” Pertanyaan bang Sarwo ini tambah mencekam suasana. Aku tau Adly kebingungan dan grogi, ingin rasanya aku bantuin dia ngomong karena itulah salah satu kelemahan Adly, dia orangnya kurang pintar ngomong, palagi kalo dah grogi duluan.

“Orang tua saya nggak setuju bang”, akhirnya kalimat itu keluar juga dari mulut Adly.

Trus entah apalagi yang mereka perbincangkan, aku nggak bisa lagi menangkap pembicaraan mereka, aku kehilangan sinyal. Tapi yang intinya pada perbincangan malam itu Abang iparku menyarankan agar Adly melepasku jikalau ia nggak sanggup tuk meyakinkan orang tuanya. Karena menurut abang iparku, kalau kami tetap lanjut tanpa suatu kepastian itu tidak baik untukku, karena umurku terus bertambah, susah antai nantinya ujung-ujungnya orang tua Adly tetap nggak setuju, bagaimana dengan aku, bisa saja ntar aku nggak laku-laku, dah ketuaan.

Saat pamit pulang kutanyain Adly tentang obrolannya dengan abang iparku tadi, tapi dia nggak mau bilang pada saat itu. “Entar saja abang cerita di telphon ya”, katanya menenangkanku yang penuh dengan 1000 tanya.

Aku nggak bisa nyalahin Bang Sarwo, karena menurutku apa yang telah dilakukannya adalah hal-hal yang wajar, masa 2 tahun bukanlah masa yang singkat. Dua tahun sudah cukup lama untuk saling kenal, saling mengerti, dan saling memahami. Tapi hubungan kami belum juga menemui titik terangnya, sedangkan aku sebenarnya sudah muak dengan pertanyaan-pertanyaan mereka di luar sana yang selalu menanyakan, “Kapan lagi... Kapan lagi... Kapan lagi...” mungkin mereka terlalu sering melihatku berduaan dengan Adly dan mereka juga bisa menilai kalau kami sudah sama-sama pantas untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Hanya saja mereka nggak tau apa masalah sebenarnya. Andai mereka tau.......

Sabtu sore sepulang kuliah Adly menjemputku, dan kamipun keliling-keliling mencari udara segar.

“Dah ditanya sama Ibuk bang?” tanyaku dari belakang sewaktu masih diatas motor.

“Udah”, jawabnya singkat dan mengalihkan perbincangan ke masalah kuliahku, tampaknya dia enggan tuk membahas masalah itu.

Adly emang slalu ingin mengetahui perkembangan kuliahku, dialah orang yang menyarankanku tuk masuk ke Universitas Terbuka ini. Awalnya aku ragu, namun berkat dorongan semangatnya, akhirnya aku melanjutkan pendidikanku ke Universitas walaupun hanya Universitas Terbuka, yang menurut kebanyakan orang Cuma menghabis-habiskan uang, karena UT nggak ada mutunya, kata mereka.

“Bang, apa kata Ibu?” desakku lagi, tapi dia masih tetap bungkam dan malah memakirkan motornya di salah satu warung Bakso langganan kami.

“Kita cerita sambil makan bakso aja, abang lapar nih,” ujarnya.

Kamipun mencari tempat duduk yang nyaman.

“Ibuk bilang, kalo bisa carilah yang lain”, ujarnya pelan tapi masih dapat kutangkap karena dari tadi kunanti-nantikan jawaban dari pertanyaanku tersebut.

Mendadak badanku lemas, pikiranku kacau. Gimana nggak, dah lebih setahun waktu berlalu, kupikir hati Ibuknya tu bakal berubah seiring berjalannya waktu, ternyata tidak, waktu nggak bisa merubahnya.

Untaian air mata berjatuhan membasahi pipiku, entah kenapa semangkok bakso dihadapanku kali ne hambar kali rasanya, aku nggak pengen lagi menyentuhnya.

“Udahlah, jangan nangis di sini, malu diliatin orang,” katanya.

Aku berusaha membendung air mataku, namun arusnya sangat deras, hingga bendunganpun roboh karenanya.

“Dek, adek tau kan, abang paling nggak bisa melihat adek nangis, tolonglah dek, berhenti nangis,” pintanya.

“Bang, apa harus kita akhiri aja semua ne?” entah kenapa kata-kata itu bisa keluar dari mulutku. Padahal selama ne Adlylah yang sering bilang seperti itu, dah sering dia ingin melepasku karena ketidak mampuan dia, dia merasa nggak sanggup tuk bahagiain aku, dia bilang ingin melepasku karena dia sangat sayang ma aku. Tapi biasanya aku selalu menolak keinginannya tersebut. Aku tetap mempertahankan hubungan kami, tapi kali ini.... Entahlah....