Senin, 29 Juni 2009

LIKU-LIKU PERJALANAN

LIKU-LIKU PERJALANAN


Hidup adalah perjalanan panjang yang penuh liku, duri dan rintangan yang harus dilalui. Nggak ada jalan yang mulus dan lurus. Semua pasti ada rintangan, dan kita harus bisa melewati rintangan itu dengan usaha yang maksimal, sabar, dan berdo’a minta pertolongan yang diatas. “Jadikanlah rintangan itu tantangan”. Itulah Motto hidup yang sedari dulu kupegang.

Kalau dikilas balik perjalanan hidupku, sangat rumit dan menyedihkan. Tapi alhamdulillah aku bisa melewatinya sampai sekarang ini, dan perjalanan itupun masih panjang, dan masih belum bisa diprediksikan, akan seperti apakah jalan yang akan kutempuh selanjutnya. Tapi, kuberharap mudah-mudahan jalanku akan lebih baik dari yang sebelumnya, mudah-mudahan harapanku ini menjadi nyata.

Aku dilahirkan dari pasangan yang saling mencintai dan akhirnya menikah pada tahun 85, walaupun pernikahan mereka ditentang oleh orang tua dari pihak cewek yang kini kupanggil mama. Yang paling menentang itu adalah Ayah dari mamaku yang sekarang kupanggil kakek. Dia seorang Kepala Sekolah yang merasa tercoret mukanya kalau punya menantu yang menderita goncangan jiwa. Tapi, jodoh memang sudah ditangan Tuhan, mama dan papaku memang sudah ditakdirkan untuk jadi suami istri. Dan dari hasil perkawinan mereka maka lahirlah aku pada hari Kamis tanggal 21 Agustus 1986. Dengan jenis kelamin perempuan.

Tamat SMA mamaku mencoba melanjutkan ke perguruan tinggi, tapi belum sampai setahun kuliahnya terhenti dikarenakan masalah biaya yang kurang dari kakek, pasalnya kakek beristri muda lagi. Dan lebih memperhatikan istri muda dan anak-anaknya disana ketimbang nenekku beserta anak-anaknya. Mama adalah anak paling tua, dan masih mempunyai 2 orang adik lagi, satu cowok dan satu cewek. Karna merasa kurang nyaman dengan keadaan seperti itu, dan akhirnya mama memutuskan untuk berhenti kuliah, dan mencoba langsung mencari kerja berandalan ijazah SMA yang sewaktu itu sudah termasuk tinggi. Dengan mudahnya dia mendapatkan pekerjaan dan kedudukan yang lumayan baik. Diwaktu muda, mama memang termasuk gadis beruntung, dengan wajah yang bisa dikategorikan cantik, dan sebelum kakekku beristri muda, mama nggak pernah kekurangan uang, hampir tiap minggu bisa beli baju baru. Disamping kepala sekolah, dulunya kakek juga seorang petani cengkeh yang sukses. Waktu itu cengkeh mahal, dan nenek juga seorang penjahit yang terkenal, yang membuat keluarga itu menjadi terpandang. Makanya, nggak heran banyak yang tertarik sama mama, dan salah satunya termasuk papaku.

Sedangkan papa, memang dari awal sudah merakan sulitnya hidup, dia anak bungsu dari enam bersaudara kandung, dan masih ada tujuh saudara tiri lainnya. Kakekku dari pihak papa juga nggak mau kalah, nggak puas punya istri satu. Tapi, karena anak paling bungsu, menurut cerita papa termasuk anak yang paling manja, walaupun lumayan susah, tapi apa yang diminta masih dapat dikabulkan orang tuanya. Ditambah lagi, bantuan dari kakak-kakaknya yang sudah pada berhasil. Ada yang jadi toke rempah-rempah, ada yang jadi guru, dan bahkan ada yang jadi milioner , kontraktor hebat, yang sempat tercatat menjadi orang nomor 3 di Sumatera Barat. Tamat SMA dengan prstasi yang selalu meraih prediket I, papa melanjutkan ke sekolah pelayaran entah apalah namanya. Pokoknya, kalau tamat dari sana dia bakal langsung diangkat jadi angkata laut gitu ceritanya. Tapi, itu semua hanya mimpi, karena di Semester terakhir, papa mengalami goncangan jiwa, yang dengar-dengar disebabkan ulah mantan ceweknya yang nggak terima diputusin cintanya karena papa lebih memilih mama. Sama halnya dengan mama, papa juga digandrungi cewek-cewek, udah pintar, tampan lagi, badannya tinggi, dan merupakan pemain volly handal. Pokoknya, ganteng deh komentar mama waktu itu.

Walaupun sudah tau kondisi papa yang seperti itu, tapi mama masih tetap mencintai papa. Dan tetap mau menikah dengan papa. Padahal, mama tau kalau papa sudah kehilangan masa depannya. Kuliahnya yang tinggal menghitung bulan, itu kandas hampir di penghujung jalan. Memang sangat menyedihkan, tetapi itulah hidup, hidup tak selalu jadi seperti yang kita inginkan. Sangat rumit dan kadang terasa sangat kejam. Kondisi papa memang nggak terlalu parah, hanya goyangan sedikit, tapi hal itu tetap membuat impiannya kandas. Tapi tidak dengan perjalanan cintanya. Hanya bermodal kekuatan cinta mama bisa menerima keadaan papa. “Kalau udah cinta mau gimana lagi”, jawab mama saat kutanyakan mengapa masih mau sama papa. “Lagian kalau nggak sama papa, belum tentu ada anak mama yang jelek ini”, ujar mama sambil mencubit daguku.

Aku memang kagum dengan sikap mama, dan kasihan sama papa, coba saja papa nggak seperti itu, ah….. tapi itulah takdir. Semua sudah diatur sama yang diatas. Perkawinan mereka berjalan, jarang sekali terjadi percekcokkan. Itu dikarenakan sikap papa yang penyayang, lembut, dan nggak cepat emosi. Waktu itu, salah seorang kakak papa meraih sukses besar, begitu banyak tender yang dimenangkannya. Sampai-sampai dia membuka perkebunan teh di sebuah daerah “Baru Gunuang” nama daerahnya. disana sangat dingin. Perusahaan itu sangat besar, disana langsung ada pabriknya. Nenek, Ibu dari papa sekarang sudah merasakan senangnya, karna keberhasilan salah satu anaknya itu. Dan kekecewaannya terhadap papa nggak terasa lagi. Dia udah mengecap, berkali-kali malahan pulang balik ke tanah suci sana, dan tempat tinggalnyapun telah disulap menjadi yang paling mewah di desa itu “pada waktu itu”.

dan tentu saja mama dan papa merupakan salah satu karyawan di sana. Disana mama mendapat posisi yang lumayan bagus, begitu juga papa. Dan jalanpun masih lurus, dan mulus. Hidup berkecukupan, bahagia, dan kebahagiaan itupun bertambah dengan kelahiran seorang putri cantik, he…. He….he…..(nah itu dia aku, muji diri sendiri). Memang kehadiranku sangat didambakan, siapa sih yang nggak pengen punya anak? Aku lahir ditengah-tengah kebahagiaan. Walaupun pernikahan mama dan papa nggak direstui kakekku, tapi mereka tetap menginginkan kehadiranku. Karena aku merupakan cucu pertama mereka. Dan cewek lagi, di minang kehadiran anak perempuan sangat diharapkan, untuk penerus keturunan.

Tapi, semuanya tidak bertahan lama, diawal kumenginjak usia SD merupakan awal kehancuran kesuksesan kakak papa itu. Baru sebulan menginjakkan kaki di Sekolah Dasar di perkebunan teh tersebut, kamipun harus pindah ke kampung papa, karena perusahaan mengalami bangkrut diulahkan sikap kakak papaku ini yang juga nggak puas dengan istri satu. Walaupun nggak langsung jatuh, tapi usahanya mulai berguguran satu persatu. Mama dan papa tinggal di rumah lama papa, dengan bermodalkan hasil tabungan selama bekerja, mama mencoba berternak ayam, dan papapun mencoba menggarap salah satu sawah nenek, kebetulan sewaktu jayanya dulu, nenek suka membeli ini itunya sawah, tanah atau yang lainnya. Semenjak mengalami goncangan jiwa itu, papa memang kehilangan semangat kerja, malas, itulah kasarnya. Tapi memang begitu kenyataannya, mamalah sekarang yang menjadi tulang punggung keluarga. Merasa kurang cukup dengan hasil telur ayamnya, mamapun mencari sambilan lain, menerima upahan jahitan bordir. Jadi, kami pun hidup tak kekurangan. Masih bisa beli ini itunya, bahkan diantara teman-teman mungkin aku termasuk yang masih berkecukupan waktu itu.

Nggak jarang karna kasihan dan rasa cinta yang besar, mama nolong ngikut bantuin papa di sawah. Dan membuat kakekku (dari pihak mama) merasa kasihan melihat mama. Tapi rasa kasihannya itu malah lebih membuat kami menderita. Kakek nggak ingin melihat mama menderita seperti itu, masak kesawah, capek-capek aja nyekolahinnya, pikirnya. Dan diapun menyuruh mama meninggalka papa. Tapi mana nggak mau, dia rela hidup susah, tapi dia merakan bahagia. Dia nggak tega meninggalkan papa sendiri dengan keadaan seperti itu, siapa yang akan mengurusnya nanti. Dan dia juga nggak ingin aku kehilangan papa, otomatis kami akan terpisah. Padahal papa sangat menyayangi aku, seumur hidupku nggak pernah dia membentakku sekalipun. Sangat menyayangiku, dia orangnya lembut, dan sangat penyayang. Walaupun keadaannya seperti itu, aku sangat menyayangi papa, aku nggak malu punya papa seperti dia, malahan aku bangga dan kasihan sama papa.

Tapi, saat aku memasuki kelas 4 SD, semua berubah, papah berubah benci terhaap mama, marah-marah, dan mengusir mama. Mama tetap nggak mau, tapi lama kelamaan dia nggak tahan dengan sikap papa. Dan akhirnya setelah menerima catur wulan 1, mama memutuskan untuk meninggalkan papa saat papa bersikeras menyuruh mama pergi ke kampunya. “Pa, apa papa nggak sayang sama Nila?” tanyaku waktu itu. Dengan tetesan air mata. Dia hanya diam, dan nggak berani menatapku. Aku sangat sedih, dan nggak pengen pisah sama papa. Tapi, keputusan mama sudah bulat, nggak tahan lagi, katanya, karena kesabaran itu ada batasnya.

Akhirnya kamipun tinggal di kampung mama, dan karena nggak punya mata pencarian di kampung, mama memutuskan untuk merantau, tapi masih di payakumbuh. Dan akhirnya, karena keahlian mama Cuma mencahit bordir, mamapun berkerja di suatu tempat usaha bordiran. Mama tinggal disana. Perpisahan itu nggak Cuma memisahkanku dengan papa, tapi juga dengan mama. Pedih memang, sekarang nggak ada lagi papa yang akan mengendongku. Dan takkan ada lagi mama yang kupanggil pas terbangun dari tidurku. Dulu, biasanya pagi-pagi kalau bangun aku selalu memanggil mama, dan mamapun akan datang dari dapur melihatku, “eh dah bangun anak mama” sembari mencium keningku, dan mengajakku keluar. Aku nggak akan mau beranjak dari tempat tidur itu kalau nggak dijemput mama. Tapi sekarang aku hanya tinggal sama nenek dan adik perempuan mama yang kupanggil “etek” yang kebetulan pada waktu itu belum menikah.

Nenek dan etek hidup dengan berjualan, ditambah uang bulanan yang dikasih kakek. Walaupun sudah beristri muda, tapi kakek masih ngasih uang bulanan sama nenek. Emangsih, waktu itu aku masih hidup berkecukupan, beli ini itunya, tapi tanpa mama papa lagi disisiku. Tapi, tuhan memang maha adil, aku masih diberi cinta dari orang-orang di sekitarku. Orang-orang disekitarku, keluarga, guru-guru, teman-teman pada menyukaiku. Maklum, bukannya muji, dulu sewaktu kecil aku adalah anak manis yang baik tingkah lakunya. Nggak nakal, dan sekolahpun pintar, juara satu nggak mau jauh-jauh dariku. Membuat para guru semakin menyayangiku. Dan nggak jarang juga aku ikut lomba ini itunya. Dengar-dengar cerita, dan melihat foto-fotoku dulu, memang dulunya aku cantik. Wajah mulus tanpa jerawat, dan gigiku dulu nggak sehancur ini, dan bibirkupun nggak seperti sekarang, tapi sekarang hancur karna kebiasaan jelekku yang suka gigit-gigit bibir. Tambah besar kamu kok tambah jelek sih nak, komentar mama melihat perubahan pada diriku.

Sesekali mama pulang menjengukku, begitu juga papa sesekali dia datang dengan honda buntutnya menjengukku. Pasti kalau pas ketemu dia langsung menggendongku. Sampai-sampai aku malu sendiri karena merasa sudah besar, tapi kubiarkan saja, karna aku kangen dengan gendongannya. Begitu juga mama, kalau dia ada, aku nggak mau makan sendiri, selalu minta disuapin, walaupun sudah besar, tapi aku mikir kesempatan itu hanya sekali-kali. Dan disamping uang mingguan yang dikirimkannya, dia akan pulang dengan macam-macam oleh-oleh ditasnya.

Tapi semuanya memang tak seindah sewaktu kami masih berkumpul bersama. Tapi inilah kenyataan hidup, semua harus dijalani. Lama-kelamaan akhirnya mama tau juga, sebab dari perpisahannya dengan papa. Semua itu karena ulah kakek yang merasa kasihan melihat mama hidup menderita kalau bersama papa, karena memang mamalah yang menjadi tulang punggung keluarga, sehingga kakek yang akrab dengan kekuatan mistik, menyulap rasa cinta diantara mereka berubah menjadi rasa benci. Betapa kejinya perbuatannya itu, memisahkan sepasang suami isrtri yang saling mencintai, dan membuat seorang anak kehilangan orang tuanya. Entah kenapa jalan pikiran orang itu berbeda. Itulah kakek, dia itu keras, nggak berperasaan, apa dia pikir dengan sikapnya itu bisa membuat mama tambah bahagia, menurutku tidak, dan yang pasti aku merasa dirugikan dalam hal ini. Kadang aku berpikir kakeklah penyebab dari penderitaanku ini, tapi kadang aku juga sadar kalau semua itu sudah diatur yang diatas.

Tambah hari, kondisi keuangan kami tambah merosot, nenek nggak berjualan lagi, karena usianya yang tambah tua, sehingga orang-orang pada malas berbelanja di tempat nenek. Akhirnya nenek menutup warung itu, dan hidup hanya bergantung pada jatah pemberian kakek. Sedangkan etekku sudah menikah, jadi sudah nggak jadi beban nenek lagi. Tinggallah aku dan nenek, nenek sangat memanjakanku. Ditambah karena dia nggak punya kesibukan lain, selain mengurusku. Memang nggak ada dia nyuruh aku bantuin ini itunya, malah dia yang mengurus semua tetek bengekku. Mulai dari nyuciin pakaianku, nyetrika. Sebelum tidur dia selalu membelai rambutku hingga aku terlelap, paginya bangunin aku ke sekolah, nyiapin sarapan, dan perlengkapanku.

Penderitaanku semakin bertambah seiring pertambahan umurku. Menginjak usia SMP hari-hariku terasa semakin sulit, disamping biaya sekolah yang otomatis semakin besar, aku juga merasa kehilangan kasih kasih sayang dari mama, kalau kemarennya mungkin masih berkurang lantaran jarak yang memisahkan, tapi sekarang aku benar-benar merasa kehilangan, mungkin itu tidak benar, tapi itulah yang kurasakan. Mungkin karena mama merasa kesepian dan lelah dengan kehidupannya yang sekarang, dan merasa aku sudah cukup beranjak remaja, makanya mama mulai mencari pengganti papa. Dia seakan mulai melupakanku, aku sedih, dan merasa kesepian.

Ditahun pertama menginjakkan kaki di SLTP banyak sekali perubahan yang kualami, seperti tak mau peduli terhadap sikap dan perhatian mama yang berubah drastis, aku malah asyik dengan duniaku sendiri. Di sekolah baruku itu aku mendapatkan banyak teman, dari berbagai kampung di Negeri kami tersebut. Dan dalam hitungan bulan menginjakkan kaki di sekolah tingkatan pertama itu, akupun mulai mengenal cinta. Salah satu kakak kelas tiga titip salam padaku, dan sering mencari perhatianku. Tapi masih belum kurespon, sampai akhirnya datang sosok lain yang kebetulan juga menaruh hati padaku, begitu juga aku, dan akhirnya kutenggelam dalam kisah cinta di masa puber pertama itu.

Jurang pemisah diantara aku dan mama semakin lebar, kalau dulu mama masih sering menjengukku, tapi sekarang nggak lagi, alasannya berat diongkos. Alasan!!!!!!! Dan walaupun sekarang dia pulang, tapi kutak menghiraukannya lagi, selain waktuku memang banyak tersita di sekolah yang jam pulangnya jauh lebih lama dibanding di SD dulu, malam harinyapun aku seakan menghindar dari mama, bikin PR ke rumah teman, atau apalah alasannya. Jangan harap ada lagi belaian lembutnya di rambut sebahuku yang dari dulu memang nggak pernah kubiarkan panjang, masih kecil, belum bisa mengurus rambut panjang, kata mama dulunya. Sebenarnya aku pengen melepaskan bebanku dipelukannya, menangis, dan tersenyum dipelukannya, tapi ego dan amahku mengalahkan semuanya. Merasa sedih atas sikapku terhadapnya, mamapun merasa malas buat pulang menjengukku, karena dia beranggapan aku sudah nggak membutuhkan dia lagi, “percuma saja aku pulang, nila sudah nggak memperdulikannku lagi” ucapnya pada nenek waktu itu.

Kebencianku semakin bertambah pada mama, saat dia mengutarakan maksudnya untuk menikah lagi, alasannya, dia nggak sanggup menyekolahkan aku sendiri, “ialah kalau mama sehat terus, kalau mama sakit gimana? Mama pengen menyekolahkan Nila sampai ke bangku kuliah, dan mama nggak akan sanggup kalau mama sendiri. Mama nggak akan beranak lagi sama dia, hanya untuk teman hidup, katanya. Tapi tetap aku nggak bisa terima, tapi malahan mama marah padaku, bilang kalau aku nggak bisa ngertiin gimana sulitnya dia. Aku hanya dapat menangis dan berlari ingin menjauh darinya. Aku benar-benar nggak sudi punya papa tiri, ih……. nyebutnya aja serem, nggak ada satu orangpun bisa menggantikan posisi papa dihatiku. Aku seakan mau menjerit memanggil papa, menangis dipelukan papa waktu itu, sama halnya waktu kecil dulu, kalau mama marah pasti aku akan mengadu ke papa, dan papa akan membelaku. Sungguh suatu kenangan indah yang kini hanya tinggal kenangan.

Nggak hanya aku, tapi semuanya nggak ada yang setuju dengan keputusan mama, karena calon mama tersebut adalah duda beranak tiga, ih…….amit-amit deh. Emang tampangnya sih lumayan, dasar mama selalu menilai orang dari luarnya, pikirku. Tapi buatku, dia lebih menyeramkan dari monster-monster yang sering kulihat di film-film itu. Tapi dasar mama keras kepala, sekali lagi dia mencoba menentang orang tuanya, seakan nggak kapok dengan pengalamannya yang terdahuu dan akhirnya nikah dibawah tangan. Orang bilang sih, perkawinan yang nggak direstui orang tua itu nggak akan selamat. Tapi dia menganggap itu angin lalu yang nggak perlu dihiraukan. Peristiwa itu terjadi di caturwulan ke-3 di tahun kedua ku di SLTP. Nggak hanya itu, kisah cintakupun kandas dikala itu, bagaikan jatuh tertimpa tangga kata pepatah, itulah yang kurasakan waktu itu. Hingga membuat prestasikupun anjlok, duh mungkin waktu itu merupakan masa-masa tersulit bagiku.

Melihat perubahanku yang begitu drastis, yang dulunya heboh kini terkulai lesu, salah satu guruku mencoba mendekatiku. Mengusut, mencari tau apakah gerangan yang terjadi terhadapku. Hingga akhirnya dia menemukan jawabannya. Karena aku nggak tahan lagi, dan menceritakan semuanya padanya. Dia akrab dipanggil buk Pet, dia guru Matematika, dan merupakan satu-satunya guru yang masih lajang, dan dia menetap di rumah dinas yang sengaja diperuntukkan bagi guru-guru disana. Maklum, dia bukan asli daerah itu. Walaupun belum punya suami, tapi dia merupakan sosok dewasa dan keibuan. Aku merasa menekan pengganti sosok mama padanya.

Aku mulai akrab dan mengidolakannya, dan perlahan akupun mulai mengikutinya, dia mengajarkanku untuk selalu ingat dan mengadu pada yang diatas. Dia banyak memberi nasehat padaku, dan dari sanalah akupun sadar, nggak ada gunanya membenci orang yang sudah susah payah melahirkan dan membesarkan kita. Walau bagaimanapun aku nggak pantas membenci mama. Aku tambah dekat dengan Allah, nggak hanya ibadah yang wajib aja yang rutin kukerjakan, tapi kumulai satu persatu mengerjakan yang sunat. Ingatlah, kita dilahirkan kedunia ini hanya untuk sementara, tujuan kita ada di akhirat sana, di sini hanya persinggahan, mencari amal kebaikan. Jangan terjebak dengan dunia ini, semuanya hanya fana. Dan cobaan yang Allah berikan itu jadikanlah cambuk yang membuatmu lebih gigih lagi, bukannya menyerah menyesali nasib.

Dan akupun mulai aktif sekaligus penggerak kegiatan rohani yang waktu itu kami beri nama Forum anisa yang memang dikhususkan buat kaum hawa yang tentu saja dibawah panduan buk Pet. Kami rutin mengadakan pengajian rohani 2 kali seminggu. Dan sering juga kami mengadakan acara-acara seperti pertunjukan drama yang tentu saja bernuansa agamais yang mana akupun terpilih menjadi peran utama dalam drama tersebut, yang tentunya menambah kesibukanku dalam mempersiapkan semuanya, acara buka bareng puasa sunat senin kamispun sering kami gelar ditambah acara renungan malam harinya yang pernah membuatku benar-benar menangis histeris. Baru kali itu aku menangis karena takut pada Allah, semenjak mengikuti forum anisa tersebut pengetahuanku tentang Islam jadi tambah dalam, kalau dulu pegangan tangan berlainan jenis itu adalah hal biasa dan aku nggak merasa risih ataupun bersalah sedikitpun, dan pacaran adalah hal biasa bagiku, aku nggak nyangka sama sekali kalau pacaran itu dilarang dalam Islam, sampai-sampai kami menggelar acara diskusi yang bertajuk “pacaran dalam kacamata Islam”.

Dimanasih letak dosanya pacaran itu? Okelah kalau emang bersentuhan itu dilarang, tapi kalau kita bisa menjaga agar tidak bersentuhan apasalahnya? Hidup tanpa cinta akan terasa hampa kata orang-orang sih, dan lagian gimana orang akan bisa menemukan pasangan hidupnya tanpa pacaran? Itulah argumen yang kukemukakan waktu membahas hal tersebut. Buk Pet yang pada waktu itu menjadi pembicara pada pertemuan itu hanya tersenyum kasihan melihat keminimanku terhadap agama, tapi kurasa nggak Cuma aku kok yang mikir kayak gitu, teman-temanku juga gitu. Memang baru kali ini aku mendengar kalau pacaran itu dilarang dalam Islam, sebab disurau-surau tempat pengajianku sedari kecil nggak pernah dibahas masalah itu. Dan mengenai bersentuhan yang nggak muhrimnyapun menurut sepengetahuanku dulunya dilarang kalau lagi wudhu’ aja, bisa batalin wudhu’ kata pak ustad disurauku dulu.

Ah……. Apa buk Pet nggak terlalu berlebihan ya? Kadang pertanyaan tersebut terlintas dibenakku kala merenung dimalam sebelum tidurku. Jawaban buk pet atas argumenku tempo hari cukup masuk diakal dan bisa diterima dengan pikiran waras, pacaran bisa mengacu kepada perbuatan zina, zina itu terbagi 2, ada zina besar dan zina kecil, selama ini mungkin kalian hanya mengetahui zina besar tersebut, tapi kalian mengabaikan zina kecil, diantaranya zina mata, zina pendengaran, zina hati, dan buk pet menjelaskan panjang lebar, sehingga membuatku turut membenarkan dan merasa bersalah atas tingkah lakuku selama ini. Semuanya belum terlambat, kalian harus bersyukur bisa mengetahui semua ini jauh lebih dini dibanding Ibu, ibu baru tau sewaktu ibu menginjakkan kaki di bangku perkuliahan. Kalian lebih beruntung daripada Ibu, kata Buk pet menambahkan.

Tapi terkadang hasutan syetan seakan nggak bisa terima dan berontak dihatiku, ngapain sih dengarin yang kayak begituan, masa muda kan untuk dimakmati, ntar kalau dah tua baru tobat. Tapi, siraman-siraman rohani yang kuterima rutin 2 kali seminggu akhir-akhir ini dapat mengalahkan hasutan-hasutan syetan waktu itu, hingga kini sifatku bisa dikatakan berobah drastis, walaupun awalnya teman-teman cowokku pada protes, karena selama ini aku memang lebih dekat dengan kaum adam tersebut karna aku kurang suka dengan sifat kaum hawa yang suka menggunjingkan orang lain. Kini musikkupun berganti dengan nasyid yang dikenalkan bu Pet padaku, dan majalah Anekapun kini berganti salsabillah, dan anisa, atau umi, pokoknya semua berbau Islami. Dan yang lebih hebatnya lagi aku bersama beberapa orang teman yang lainnya menjadi orang-orang pertama yang mengenakkan jilbab di Sekolah tersebut. Maklum dulu kan belum ada aturan kalau siswa SMP memakai jilbab, malahan aksi kami tersebut sempat diprotes oleh beberapa guru, hingga akhirnya bu pet memperjuangkan dan mengurus surat izinnya. Ah….masak pake jilbab aja pake surat izin, he……he….

Kini aku benar-benar sibuk dengan kegiatan yang beberapa bulan belakangan ini kugeluti, dan anggotanyapun sudah tambah banyak. Aku sudah nggak menangisi lagi perpisahanku dengan pacar pertamaku itu, malah aku bersyukur bisa terlepas dari perbuatan yang kini sudah kuanggap mendekati zina tersebut, karna bu pet bilang pacaran itu mendekati zina. Dan aku juga sudah nggak menaruh benci lagi terhadap mama, sehingga pada waktu kelahiran adikku dari pernikahan kedua mama tersebut aku pergi menjenguk mama, awalnya aku benci dengan kehadiran adikku tersebut, karna aku mikir sedangkan nggak punya adik, mama sudah mulai melupakanku, apalagi……… tapi setelah melihatnya langsung, hati nuranikupun terketuk melihat wajah merah imut itu, sekarang statusku sebagai anak tunggal tlah tercopot, dan kini akupun sudah menjadi seorang kakak, duh…… perasaanku benar-benar nggak menentu. Aku nggak bisa memungkiri, kalau sebenarnya aku mulai jatuh cinta pada bayi mungil itu. Tapi kalau teringat siapa papanya, perasaan itupun terkadang berobah, aku tetap nggak bisa menerima kehadiran papa tiriku itu.

Semua perubahan itu terjadi di penghujung tahun ajaran sebelum menginjak kelas 3. entah karena faktor apa, tiba-tiba nilai raport kenaikan kelas itu begitu anjlok. Yang membuatku shock berat, bayangkan aja, di SD peringkat 2 hanya sekali kupegang, itupun lantaran pindah sekolah. Selain itu, juara 1 tak mau lepas dari tanganku. Dan semuanya bisa kudapat dengan mudah, mudah sekali. Dan sewaktu menginjakkan kaki di bangku SMP prediket pertama itu masih bisa kuraih walaupun sekarang sudah terasa agak susah, karna sainganku yang semakin bertambah. Dan sesekali aku harus rela menerima cukup berada di peringkat ke-dua. Walaupun aku benci sekali, tapi emang susah. Berada di peringkat kedua aja merupakan hal yang terburuk bagiku, tapi sekarang, disaat penerimaan raport kenaikan kelas tersebut, namaku nggak terpanggil lagi kedepan untuk menerima hadiah seperti biasa.

Ya Allah …… cobaan apa lagi yang kau berikan padaku? Mengapa aku nggak bisa lepas dari kesedihan-kesedihan yang tak kunjung henti ini. Kapan kebahagiaan itu akan datang ya Allah? Kuberlari kebelakang kelas, malu rasanya melihatkan wajahku ini didepan teman-teman, dan akupun terkulai lemas dan jilbab yang kukenakkan itupun kini tlah basah dengan tetesan air mata yang kini tlah mengalir deras. Sudah menjadi sifatku, kalau lagi sedih karena ditimpa suatu masalah, maka akupun akan mengungkit-ungkit kesedihan dan kedukaan dimasa silam, dan mulai mempertanyakan mengapa nasibku begini, rentetan kisah sedihpun bermunculan sehingga membuat mataku sembab, dan batukpun mulai menyerang. Aku benar-benar terkulai layu, dan rasanya nggak sanggup pulang kerumah, apa kata mereka nantinya. Dan yang lebih menyakitkan yang cewek yang merebut cowokku dulu aja yang dulunya nggak pernah rangking, kini meraih rangking 3, berada diatasku, sekarang dia benar-benar menindasku. Dia merupakan sainganku semenjak di SMP ini, dari dulu, kalau aku jadi sekretaris OSIS dia bendaharanya, kalau aku jadi pemimpin nyanyi di upacara 17 agustus malah dia jadi penggerek benderanya. Duh….pokoknya kami itu emang saingan sejati deh.

Dan lucunya lagi, sesampai di rumah orang-orang mengkambing hitamkan kegiatan forum anisaku sebagai dalang dari semua ini. Mereka bilang sekarang aku sibuk sendiri dengan forum anisaku tersebut sehingga menelantarkan pelajaranku. Dan mereka juga nggak suka dengan sikapku yang menurut mereka terlalu berlebihan. Ya gimana nggak, sekarang aku benar-benar menutup rapat auratku, hingga sampai-sampai kalau suami etekku aja datang, akupun lagnsung cepat-cepat lari mencari jilbab, karena diakan bukan muhrimku. Ah…….emang keterlaluan sih, buat lingkungan kami yang belum bisa menerima hal tersebut secepat itu.

Mereka menuduhku termakan aliran sesat, dan sebaiknya diobat biar pikirannya seperti semula lagi, yang istilahnya sih “balimau”. Ya jelas-jelas aja aku nggak mau karena aku merasa nggak tersesat. Tapi nggak Cuma keluarga dari pihak mama aja yang protes terhadap tingkahku tersebut, sewaktu libur panjang aku berlibur ke tempat papa, bukan ke tempat mama, karena aku nggak mau ketemu sama manusia monster yang kini menjadi teman tidur mama tersebut. Biarlah rasa kangen terhadap mama kusimpan, dan aku menemui papa, disana kasih sayangnya masih seperti dulu, bahkan berlebih karena selama ini terpisah. Nggak hanya kasih sayang yang kudapat, tapi aku cukup puas dengan buah-buahan hasil tanaman almarhum nenek yang juga meninggal disaat aku menginjak kelas 2 kemaren. Kelas dua memanglah saat-saat terberat di hidupku. Dan seperti biasanyapun aku pasti diajak berlibur ke padang, ketempat kakak papa yang sudah memiliki rumah sendiri dan menjadi guru SMK di kota bengkuang tersebut. Dan waktu itulah pertama kalinya aku membuka auratku lagi didepan orang-orang yang bukan muhrimku. Aku merasa nggak enak kalau harus memakai jilbab di dalam rumah itu, mereka juga menentang hal tersebut.

Perlahan-perlahan sikapkupun kembali berubah seperti sebelumnya, sebelum aku dekat dengan Buk Pet dan aktif di forum anisa. Sekarang aku hanya memakai jilbab kalau ke sekolah, pokoknya perlahan tapi pasti aku benar-benar telah pergi menjauh dari Bu Pet dan forum anisanya. Dan entah kenapa lagi, satu-persatu teman-temanku pun mengikuti jejakku. Dan pada akhirnya di caturwulan pertama aku kembali membuktikan prestasiku, dan yang paling hebatnya lagi di tengah-tengah kecemasan menunggu kelulusanpun ternyata aku berhasil lulus dengan prediket yang cukup tinggi, aku merupakan orang yang meraih nim tertinggi di SMP tersebut, dan berkat prestasiku tersebut SMP kamipun seakan terangkat prestasinya, bisa berada di urutan yang lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. Bahagia, itulah yang kurasakan waktu itu, tapi hati nuraniku seakan-akan merasa bersalah dengan perobahan sikapku yang sudah kembali lagi ke jahiliyah. Dan sekarang aku seakan menghindar dari buk pet, mungkin karena merasa malu.

Tamat SMP dengan nilai yang sangat memuaskan, aku hanya melamar di satu Sekolah, yaitu di SMA yang nggak lumayan jauh dari kampung papa, bisa pulang balik dengan mobil tiap hari, tapi lumayan melelahkan sih, apalagi mencari mobilnya terhitung susah. Yakin akan diterima dan merasa sekolah itu cocok dengan pedenya aku nggak mau susah payah masuk di beberapa sekolah seperti halnya yang dilakukan orang-orang lain. Aku lebih memilih SMA ketimbang sekolah kejuruan, karena di cerpen-cerpen aneka yes yang sering kubaca dulu selalu bercerita tentang kisah cinta di SMA, orang-orang bilang sih, masa-masa SMA adalah masa-masa yang tak terlupakan. Kalau di kejuruan sih, jumlah cowok dan ceweknya nggak seimbang, beda dengan di SMA.

Kalau dulu mama pernah bilang kalau salah satu alasannya menikah lagi adalah agar dia bisa meringankan biaya sekolahku, tapi nyatanya sama saja, malah menurutku sekarang mama lebih jarang mengasih uang belanja buatku, selain karena kehadiran adikku, yang otomatis membuat mama tidak bisa bekerja seperti biasa, dan hanya mengandalkan suaminya (aku nggak mau menyebutnya papa) itu yang bekerja sebagai tukang, ialah dapat job, kalau lagi nggak, nganggur, nggak tetaplah pokoknya. Padalah biaya yang kubutuhkan semakin besar, untung papa beserta kakak-kakaknya bisa menolongku dari masalah ini. Uang masuk, beli baju, buku, semua kuperoleh dari hasil panen padi papa yang terhitung lumayan banyak. Awalnya kutinggal dirumah peninggalan nenek bersama papa dan salah seorang kakaknya yang sudah punya keluarga juga, disana kutidur dengan adik sepupuku tersebut yang waktu masih SMP.

Tapi setelah kupikir-pikir lagi, akhirnya aku memutuskan untuk ngekost, karna jam belajarku yang begitu padat, dari pagi sampai sore, karena aku terpilih masuk ke kelas unggul, dan seperti kakak-kakak kelas unggul lainnya, kelas unggul diberikan tambahan jam pelajaran selain jam pelajaran biasa, dan juga diberikan buku-buku tunjangan lainnya. Senang sih bisa berada di kelas unggul, tapi nggak enak juga sih kalau belajarnya terlalu dipaksakan gitu, otomatis waktuku tersita karenanya. Aku sudah nggak bisa lagi ikut OSIS atau kegiatan ekstrakurikuler lainnya, walaupun ada beberapa orang temanku yang tetap ikut andil di dalamnya. Pulang sore, plus tugas-tugas yang menumpuk semakin membuatku lelah, apalagi tekanan berada di kelas unggul yang membuatku menjadi kurang bisa menikmati masa-masa SMA tersebut. Karena nggak tahan pulang sore yang terkadang sudah dekat magrib dikarenakan susahnya mendapatkan mobil aku memutuskan untuk ngekost tak jauh dari SMA tersebut. Malahan kalau dihitung-hitung uang ongkos yang dikeluarkan perbulan lebih besar ketimbang uang kos perbulannya, walaupun sekarang aku harus masak sendiri, tapi aku kan bisa membawa bekal. Disanalah awalnya kubelajar masak, walaupun awalnya terlihat canggung, tapi lama-kelamaan aku tlah terbiasa dengan situasi seperti itu.

Tamat SMP aku sudah melepaskan jilbabku, dan rencananya sih di SMA aku mau pake seragam pendek aja, tapi ternyata di SMA tersebut kami adalah angkatan pertama yang diharuskan pakai jilbab, wah……….wah…..!!! tapi diluar sekolah aku tetap mencopot jilbabku sama halnya dengan beberapa orang temanku yang lainnya. Dan di SMA tersebut aku ketemu dengan kakak kelasku di SMP dulu, yang sekarang baru masuk seangkatan denganku. Karna merasa sama-sama berasal dari SMP yang sama, kamipun jadi akrab. Hingga akhirnya kamipun jadian. Satu lagi perbuatan yang kutau salah itu kulakoni. Walaupun begitu aku nggak akan mau dipegang-pegang cowok, tekatku dalam hati. Dan akupun berhasil membuktikannya, padahal di SMA perjalanan cintaku cukup tragis, berpindah-pindah hati dari yang satu ke yang lainnya. Tapi semuanya hampa, nggak seperti yang dulu, my first love. Dan hari-hari di SMA-pun kulalui dengan sabar dan perjuangan.

Sahabat karib, itulah yang selama ini belum pernah kudapatkan, dari kecil aku memang nggak pernah akrab denga salah satu orang saja, nggak ada yang paling dekat, semua sama, pengen sih punya sahabat yang kayak gitu atau istilah orang sih sahabat karib, tapi belum ada yang cocok, pada umumnya kalau berteman kayak gitu lama kelamaan bisa jadi berantam atau apalah namanya, yang intinya nggak baikan lagi. Dan aku nggak pengen kayak gitu, makanya kupikir lebih baik nggak ada yang terlalu akrab biar nggak ada permusuhan. Tapi di bangku SMA ini aku menemukan sosok sobat yang sepaham dan sepemikiran denganku. Namanya Elen, aku pertama kali melihatnya di jalan mau berangkat ke sekolah, waktu itu dia lagi berdiri di pinggir jalan, dari pakaiannya kayaknya dia seangkatan denganku. Waktu itu kami hanya saling senyum, senyum paling manis dan ikhlas menurutku. Dan pas jam istirahatnya, kami ketemu lagi di sekolah, dan dari obrolan singkat itupun aku tau kalau ternyata dia anak kelas I.5 dan rumahnya nggak jauh dari tempat kosku. Dan disitulah awal keakraban kami, dia anaknya polos, nggak hobi ngegosipin orang, atau membeberkan aib orang, jadi asyik buat curhat, aman pokoknya, tambah lagi dia orangnya nggak suka tersinggung, kebal, dan yang paling utama antara kami banyak kesamaan, mulai dari hobi, selera musik, dll.

Dia adalah teman tempatku mengeluarkan keluh kesah, berbagi kesedihan dan kegembiraan, juga berbagi rahasia. Pokoknya diantara kami nggak ada rahasia-rahasiaan deh. Karna berbeda kelas, kami ketemunya kalau diluar sekolah, berangkat dan pulang bareng, dan sering juga dia tidur di kosanku. Dan kalau di sekolah sih, otomatis aku gabung sama geng cerewet dan ambul radul, ya….. kalau mereka sih Cuma teman buat senang-senang, mana ngerti mereka gimana susahnya hidup, karena pada umumnya mereka berasal dari keluarga berada gitu, paling nyambungnya masalah cowok, gosip, acara tv, dsb.

Nggak terasa satu tahunpun berlalu, tapi jangankan beban yang kuderita tambah ringan, tapi malah semakin berat, ditambah lagi karna keadaan mama yang tambah parah, manusia monster itu meninggalkan mama di tengah susahnya ekonomi mama saat itu. Dengan alasan mencoba mencari nafkah di Pekanbaru, manusia monster itu pergi meninggalkan mama bersama darah dagingnya sendiri yang baru menginjak 1 tahun. Setelah berbulan-bulan mama menunggu, jangan mengirimkan uang, suratpun tidak, dan akhirnya mama dapat berita kalau ternyata dia bukannya ke Pekanbaru, tapi malah ke Jawa, kembali lagi ke Istri tuanya beserta 3 orang anaknya yang disana. Mau bicara apalagi, penyesalan memang datang belakangan, kalau saja dulu mama nggak berikeras, kalau saja ……….. Ah………Nasi sudah jadi bubur, semua dah terlanjur. Dan sekarang beban mama malah bertambah dengan kehadiran gadis kecil yang imut yang nggak kalah menyedihkan nasibnya dibandingkan denganku. Padahal dulu manusia monster itu pernah bersumpah Al-Qur’an kalau dia nggak bakal ninggalin mama. Tapi Apa?????

Mama benar-benar terpuruk dan hancur, pikirannya kalut, sampai-sampai mama memintaku buat berhenti sekolah. Tentu saja, aku nggak menentang keras, tapi mama bilang kalau dia nggak sanggup lagi membiayaiku lagi. Tapi kutetap sekolah, toh selama ini biaya dari mama nggak seberapa, semua dari papa dan saudara-saudaranya. Kubertahan dengan keadaan seperti itu hingga akhirnya aku tamat juga dari SMA walaupun penuh dengan kisah sedih di dalamnya.

Tamat SMA aku nggak pernah kepikiran buat kuliah, karena buat menamatkan SMA aja dah susah payah, jadi nggak ada kemungkinan buat kuliah pikirku, makanya aku nggak ikut PMDK, padahal kalau ikut mana tau jebol, tapi mau kuliah sama apa? Kalau untuk dapat beasiswa seperti temanku yang selalu juara 1 di kelas unggul itu nggak mungkin deh, karena prestasiku nggak segemilang dia, jauh lebih redup malahan.

Sewaktu berkungjung ketempat salah satu saudara papa, dan setelah menceritakan kelulusanku dengan nilai yang lumayan termasuk tinggi juga, akhirnya mereka kepikir buat nyuruh aku kuliah di sebuah Lembaga Pendidikan di Padang, tapi aku nggak semangat mendengarnya, karena aku nggak berani mimpi buat bisa kuliah. “Kamu bisa gratis kuliah disana, kan Da Eria kerja disana”, katanya. Da Eria adalah anak paling tuanya, tapi aku belum pernah bertemu dengannya, entahlah waktu kecil dulu, aku nggak ingat lagi.

Berkat perjuangan dan kerja sama semua pihak (cieh…..) akhirnya aku berhasil juga masuk ke LP3I salah satu lembaga perkuliahan yang tergolong mewah dan elit di kota Padang. Masalahnya kalau ada yang nanya, “kuliah dimana?” nah kalau kujawab pasti kebanyakan mereka berkomentar “wah…anak orang kaya dong!”. Padahal…………duh…….. seandainya mereka tau, nggak semua laki-laki………..(eh kok malah jadi ngelantur, he…he……he……..).

Dengan uang kuliah gratis dengan syarat menjadi asisten library di sana cukup meringankan bebanku, jadi aku hanya memikirkan uang transport dan uang jajan aja. Sedangkan makan dan tempat tinggal ditanggung saudara papa yang sudah memiliki rumah di Padang dan bekerja sebagai Guru di salam satu Sekolah Kejuruan di kota padang tersebut. Tinggal sama orang, emang agak terasa sulit sampai-sampai aku pernah mengecap tinggal di tempat kos walaupun hanya beberapa bulan. Di penghujung Tahun pertama kuakhiri segala perjuanganku, aku sudah cukup lelah dengan hidup serba kekurangan. Sebenarnya aku bisa melanjutkan ke Tahun dua dengan percuma, tapi aku udah nggak tahan lagi, walaupun uang kuliahnya gratis, tapi aku masih punya kebutuhan lain, nggak enak terus-terusan minta sama orang.

Dengan keahlian dan ijazah yang kini kumiliki, aku merasa sanggup terjun keduni kerja. Dengan giat, kucoba memasukkan lamaran di beberapa perusahaan yang tertera di lembar iklan-iklan surat kabar harian kota Padang tersebut. Dan alhasilnya aku terpanggil juga di salah satu perusahaan. Lulus tes wawancara, akhirnya aku mengalami masa training, tapi ternyata kerjanya sama aja kayak sales, malahan lebih rendah daripada sales, pasalnya kita harus datang kerumah-rumah dengan muka ramah mengada-ada kalau mereka dapat hadiah berupa kompor gas karena telah menggunakan produk baygon, pepsoden, atau apalah namanya, tapi dengan syarat membayar ongkos kirim + PPn nya seharga barang tersebut, jadi intinya sama saja dengan menjual tapi pake embel-embel hadiah agar orang tertarik.

Tiga hari kujalani bekerja sebagai seorang trainer, dan dihari keempat kuputuskan untuk berhenti, karena kalau boleh jujur, pekerjaan itu berlawanan dengan hati nuraniku, aku nggak sanggup membohongi banyak orang. Pekerjaan itu menyiksa batinku, selain juga menyiksa fisikku, karena kami harus pergi ke perkampungan-perkampungan yang lumayan jauh dari pusat kota sambil membawa tentengan kompor gas ditangan.

Lepas dari sana, kucoba mengadu nasib menjadi seorang …………. Di salah satu swalayan di Padang. Ah….. akupun hanya bertahan 2 bulan disana, selain nggak betah, suami saudara papaku yang dipadang itu memutuskan untuk buka photo digital, kalau selama ini sih dia Cuma buka photo biasa, dan peralatannya dah lengkap sedangkan operatornya belum ada. Dan mereka menyuruhku belajar / les photo shop, tapi setelah kami jajaki ternyata biaya les photo shop itu diatas satu jutaan Cuma dalam beberapa hari. Dan akhirnya kuputuskan untuk belajar sendiri, sayang duitnya. Dengan dasar-dasar yang diberikan seniorku di LP3I dulu, akhirnya aku bisa mengoperasikannya. Lumayanlah………

Disana aku sama saja nggak digaji, hanya uang jajan dan makan ditanggung. Hitung-hitung sebagai tempat pelarian sebelum mendapatkan kerja yang lain. Dan akupun tak berhenti mencari dan terus mencari pekerjaan. Hingga akhirnya tes PNS pun dibuka, dan akupun ikut terjun kemedan persaingan yang begitu pesat. Emang sih aku nggak pernah berharap lulus, hitung-hitung mencari pengalaman, pikirku.

Nggak lama setelah tes PNS tersebut saudara papaku menyuruhku untuk balik ke kampung dulu, dengan dalih kalau dia melihat aku sudah tertalu lelah, dan udah lama nggak ketemu sama orang tuaku, pulang lah dulu, ntar kalau ada panggilan PNS tu kesini lagi, katanya. Dan akupun sadar kalau itu adalah bentuk dari pengusiran secara halus. Dan akupun sadar diri, karena keberadaanku disana mungkin hanya menambah beban mereka, karena suaminya kini telah bisa mengoperasikan photo shop tersebut setelah mengalami proses pembelajaran ekstar dariku sekitar 4 bulan lebih.

Tapi Tuhan memang maha adil, mungkin itu adalah caranya menunjukkan jalan padaku, memberi tahu kalau karirku itu memang bukanlah di Padang, tapi di sini di Ujungbatu ini. Tempat ku sekarang, dan disinilah aku mulai menemui sedikit demi sedikit kebahagiaan itu. Satu persatu yang kuharapkan tercapai, disini kumendapatkan segalanya. Baik itu materi maupun kekasih hati. Cieh…….

Kuharap jalanku nggak seburam dulu lagi, mudah-mudahan aku bakal menemukan jalan yang lebih mulus dan indah. Mudah-mudahan kubisa menjalani sisa perjalanan ini dengan mudah dan penuh kebahagiaan. Karena seperti kata pepatah “Tak semalanya malam itu gelap, dan tak selamanya mendung itu hujan”.

Ya Allah……. Cukup sudahlah derita yang kualami, berikanlah aku setetas kebahagiaan dan kedamaian di hati dalam menjalani sisa hidupku ini. Ya Allah tuntunlah hambamu yang tiada berdaya ini. Amin………….

THE END

Jumat, 26 Juni 2009

NYESAL

Walaupun kini dia telah jadi milik orang lain, tapi entah kenapa dia masih memperhatikanku, dia nggak mau aku jatuh ketangan orang yang salah, dia selalu menasehatiku, menyemangatiku, dan mengingatkan pada Allah.

Tapi, tanpa disadarinya.... sebenarnya semua itu hanya menambah pedih di hatiku. masalahnya, aku semakin merasa kalau cintanya itu benar-benar tulus terhadapku, dia benar-benar sayang sama aku. tapi, aku harus merasakan sakit ketika sadar dia bukanlah milikku lagi. aku nggak bisa marah kalo HPnya g'aktif, atau kalo dia g'da nelpon or SMS ge. sekarang aku hanya bisa menerima, dia nelpon syukur, klo nggak ya gimana lagi.

Aku nggak tau, apakah ne semua harus kuakhiri? karena setiap kali kami telponan, jarang aku yang nggak nangis karena teringat masa-masa lalu yang nggak kan pernah terlupakan. Ah.. semua begitu indah untuk diceritakan... Aku masih belum bisa merangkai kata-kata tuk membukukan sejarah cinta kami..... yang mungkin bakal tinggal sejarah tuk selamanya....
Karna waktu takkan dapat berputar kembali...
Aku Nyesal....
Kenapa harus terjadi perpisahan???

Selasa, 16 Juni 2009

SAKIT HATI

Sakit hati, itulah yang kurasain kini. Gimana nggak coba, awalnya aku hanya tau alasan ortunya yang nggak setuju ma aku itu karena perbedaan suku diantara kami. Tapi ternyata aku salah, bukan itu sebenarnya. Karena sekarang aku tau kalo cewek yang dijodohkan dengannya sekarang tu juga dari suku yang sama denganku. Jadi bukan sukulah alasan mereka yang sebenarnya. Tapi karena aku ne orang tak punya..... yang pastinya tak punya uang tentunya, karena jelas-jelas aku masih punya hati dan cinta, dan menurutku merekalah yang nggak punya, nggak punya hati!!!!!!